Selamat Datang Di Komunitas Yalimeck Web BLOG

Rabu, 31 Maret 2010

ISU PEMEKARAN YAHUKIMO UTARA MERUPAKAN ISU ‘MURAHAN’ UNTUK MEMPERTAHANKAN KEKUASAAN

*) James S Yohame

Bergulirnya wacana pemekaran wilayah Anggruk yang sebelumnya di namakan Yalimek yang di dukung oleh berbagai pihak ( masyarakat akar rumput, pelajar, mahasiswa asal Yalimek – Nalca) merupakan sesuatu yang baik dan tentu saja memberikan kegembiraan dalam rangka memacu percepatan pembangunan. Kita tidak memungkiri bahwa akan banyak manfaat dari sebuah pemekaran, saya contohkan saja Kabupaten Yalimo yang setelah pisah dari Kabupaten Jayawijaya, percepatan pembangunan dari seluruh aspek dapat dirasakan (Acungan jempol buat Yalimo karena, pembangunan fisik dan sarana infrastruktur lain akan mengalahkan Kabupaten senior lain).

Namun demikian, ada isu yang Pemekaran Yahukimo Utara yang berbau Politis ketimbang menyuarakan aspirasi rakyat, kita juga perlu mewaspadai akan isu pemekaran ini hanya sebatas wacana saja demi sebuah tujuan lain yaitu memenangkan Pemilihan Kepala Daerah dalam beberapa bulan kedepan. Misalkan saja isu pembentukan Kabupaten Yahukimo Utara yang di usung anggota legislative dari Dapil III Distrik Anggruk dari Fraksi Partai Golkar. Sayangnya, isu pemekaran Yahukimo utara yang mereka usung ini tanpa dukungan masyarakat akar rumput, dan tentunya pelajar – mahasiswa Yalimek sehingga terpasung di tengah jalan.


Tetapi yang menjadi pertanyaan, mengapa Bupati Yahukimo tidak intens untuk menggulirkan wacana Kabupaten Yalimek? Apakah beberapa kecamatan yang ada di daerah pemilihan III ini tidak memenuhi syarat untuk di mekarkan jadi sebuah Kabupaten Otonom? Jangan hanya memunculkan wacana Pemekaran sebuah kabupaten, lalu berdiam diri. Atau mungkin setelah memunculkan wacana Pemekaran ini, apabila terpilih pada saat Pemilihan Bupati besok, wacana yang di munculkan ini akan direalisasikan dengan memekarkan kabupaten sebagai imbalan balas jasa? Entahlah, segudang janji manis dan slogan yang di usung, tetap nasib rakyat Yalimek terabaikan, apabila menginginkan suara Yalimek maka, syarat pertama yang mungkin harus dipenuhi adalah harus ada kontrak politik hitam diatas putih. Tanpa ini sangat sulit masyarakat percaya. Ini dimaksudkan agar, dikemudian hari apabila seseorang yang terpilih tersebut mengingkari janji, maka ada jaminan untuk menuntut.


Kalau dianalisa dengan pikiran waras, apa tujuan semuanya ini menjelang Pemilihan Kepala Daerah? Tujuannya, tentu saja untuk mengamankan posisi pejabat nomor 1 yang ada saat ini untuk menjadi bupati Yahukimo untuk periode ke dua.


Namun pertanyaannya apakah, beberapa kecamatan di dapil III mampu dipengaruhi opininya oleh bupati saat ini melalui bawahannya pada PILKADA nantinya dengan ISU-ISU yang digulirkan saat ini, semuanya berpulang kepada masyarakan yang memiliki hak suara. Saatnya rakyat yang tentukan pilihan tanpa intimidasi dan terror.

Waspadalah,,,,,,,,,,,Waspadalah,,,,,,,,,,Waspadalah,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,Penipuan terjadi bukan hanya karena ada niat, tetapi karena ada kesempatan untuk menipu. Tentukan pilihan baik- baik sebelum kata menyesal datang. ( kata bang Napi RCTI)


*) Penulis Seorang Gelandangan, Penghuni Tetap Jalur Bebas Hambatan

Rabu, 24 Maret 2010

PERKAWINAN ADAT SUKU YALIMEK

*)James S Yohame

Dalam organisasi sosial, suku Yali Meck mengenal pembagian masyarakat atas dua kelompok klan, yaitu Kabak dan Pahabol (Wita dan Waya bagi masyarakat lembah baliem),dan masing- masing klan harus kawin di luar dari klan. Masing- masing klan mengetahui dengan klan mana ia bisa memilih pasangan perkawinan dan dengan klan mana sama sekali terlarang. Dari dua klan besar yang disebutkan diatas, terdapat klan- klan kecil yang termasuk di dalam dua kelompok klan di atas.
Dalam hal memilih jodoh bagi seorang perjaka untuk memperistri seorang gadis secara adat Yali meck di tentukan oleh orang tua dan atau sanak famili pihak lelaki. Berdasarkan adat, Seorang pemuda tidak boleh kawin dengan gadis yang masih termasuk anggota keluarga klan, sesama klan, atau masih ada hubungan keluarga dekat. Misalnya, larangan untuk kawin dengan saudara perempuan ayah atau saudara perempuan ibu berlaku untuk dua- tiga generasi, tetapi larangan untuk kawin sesama klan berlaku umum – kontinue- (artinya biar 1000 generasi sekalipun tidak dibenarkan kawin dengan sesama klan).
Lamaran terhadap gadis calon pengantin dilakukan oleh orang tua, sanak keluarga dan tua- tua kampung atau kepala- kepala adat. Apabila lamaran telah disetujui oleh pihak wanita, pembicaraan biasanya di langsungkan dengan besarnya mas kawin yang akan diserahkan pihak lelaki, juga waktu pelaksanaan pernikahan ( hari pembayaran mas kawin). Mas kawin yang masih di pertahankan hingga sekarang adalah berupa, Babi, dan noken. Sedangkan mas kawin sebelumnya selain babi dan noken kulit pia dan Sul/ meli (maaf bahasa Indonya saya lupa, maklum orang kampung). Tetapi sekarang, mas kawin bisa berupa Uang ratusan sampai jutaan jutaan rupiah ( tergantung popularitas orang tua si gadis).
Sesudah nikah, pengantin baru sementara waktu tinggal bersama orang tua pihak lelaki ( sebelum membuat rumah sendiri). Perceraian antara suami istri sejak dulu jarang terjadi. Pada masyarakat yali mek perkawinan poligami sering terjadi ( Sebelum injil masuk), tetapi perkawinan poligami pada masyarakat suku Yali meck umumnya hanya terbatas pada kepala suku dan orang yang punya status sosial lebih tinggi, artinya orang yang secara material mampu membayar mas kawin. (Jumlah babi peliharaan menentukan status sosial masyarakat yali meck – seseorang di katakan kaya/ status sosialnya lebih tinggi apabila jumlah kandang babi dan babi banyak - ).

http://jamaica-rastuna.blogspot.com/

*) Penulis adalah Salah Seorang Putra Yali Yang Terdampar Di Pulau Jawa & Kuliah Di salah Satu Institut Di Jakarta.

JATIDIRI

*) James S Yohame

Jati diri bagi kebanyakan orang dipandang sebagai satu bawaan diri yang sulit terlepas pada perilaku yang bersangkutan. Jati diri seringkali dicari: mungkin karena sikap ingin tahu, yang kemudian dimanifestasikan dalam pelbagai bentuk (entah itu santun atau sembrono). Jati diri bisa berasal dari tempat kelahiran, tempat dimana kita dibesarkan, kebiasaan dimana kita bergaul, lingkungan dimana kita di didik. Tapi, ada yang bilang Jati diri bak sebuah daun kelor; kecil namun tegas dalam pewarnaan jiwa. Jati diri bisa merupakan hati nurani seseorang yang memang tak dapat disusupi dengan apapun. Adalah Brigjen (purn) Jos Buce Wenas. Putra kelahiran Tomohon, 22 Mei 1945 yang bertahan hidup 30 tahun di Tanah Papua ini menuturkan suatu realita hidup yang sangat utuh tentang jingle child Desa Anggruk, Kabupaten Yahukimo, Papua; Enny Kenangalem namanya. Diceriterakan, Enny Kenangalem adalah putri kembar yang sebenarnya sudah meninggal. Sebab, kebiasaan di Distrik Anggruk, Yahukimo, bila satu keluarga memiliki anak kembar, maka yang satunya harus dikorbankan karena bisa membawa sial. Hal itu yang terjadi pada Enny Kenangalem. Mendengar kebiasaan itu, seorang dokter PTT yang ditempatkan di daerah Anggruk, mengambil Enny Kenangalem sebelum dibuang ke sungai. Dan, menitipkan kepada perawat asal Manado yang kebetulan akan pulang kampung.
Maka jadilah Enny Kenangalem kecil, hidup di lingkungan baru, di Kota Tomohon. Otomatis dalam kehidupan sehari-harinya, ia tidak lagi mengenal yang namanya belantara Jayawijaya atau tarian Sajojo ataupun Bahasa Papua (Anggruk). Enny Kenangalem lebih fasih berbahasa Tombulu, lebih tahu tarian Maengket juga lebih mengenal Batu Pinabetengan. Enny Kenangalem kecil tak lagi bermain di padang-padang yang luas, panah-panahan, kejar-kejaran dengan serangga juga (bisa) binatang buas lainnya. Ia lebih banyak bermain dengan boneka atau makan permen. Hidupnya tidak lagi diinterupsi oleh kehidupan lazimnya anak- anak di kampungnya Anggruk. Ia tidak biasa lagi hidup di alam yang menyimpan tantangan tersendiri, tempat di mana orang belajar untuk hidup.
Di Tanah Papua adalah tempat dimana masih ada mimpi buruk, seperti brutalitas, kanibalisme, perang antarsuku dan sengketa tanah serta pembunuhan adalah menu sehari-hari. Namun, ketika hidup dan belajar di sekolah, di Tanah Minahasa, Enny Kenangalem, telah berubah jadi sosok manusia yang lebih rapih; karena sudah mengenakan pakaian lengkap. Dan, tidak seperti saudaranya, yang sampai Enny Kenangalem menjenguk keluarganya di Desa Anggruk, Jayawijaya, masih belum menggunakan kutang dan hanya tampil seadanya seperti anak belantara lainnya. Yang lancar bermain di belantara, bisa tidur di alam terbuka, lincah menari Sajojo, dan suka “polos” dalam berpakaian. Sementara Enny Kenangalem, lebih fasih berbahasa Tombulu ketimbang bahasa ibu; bahasa Anggruk. Lebih lincah bergerak mengikuti tarian Maengket ketimbang bersajojo. Pertanyaan mengenai Jati diri lalu menyelinap: Apakah Enny Kenangalem seorang …………..? Apakah Enny Kenangalem warga ………..? Apakah Enny Kenangalem mixed? Atau, apakah Enny Kenenggaley memiliki …………ataukah ………….? Enny Kenenggaley mungkin adalah contoh ekstrim mengenai “pergeseran” Jati diri. Tapi, contoh kecil lainnya bisa ditemukan di sekeliling kita. Jika menemukan diri kita berbeda dalam hal ras, bahasa ibu, etnis, peradaban, etika dari kebanyakan penduduk sekitar, pertanyaan inipun muncul dalam bentuknya yang sering mengganggu. Sebagian orang mungkin beradaptasi dengan perbedaan. Namun, seperti Enny Kenangalem, proses adaptasi di tempat dimana seharusnya ia berada bertahun-tahun, malah hanya menjadi cerita yang ia sendiri tidak mengerti. Tetapi, ada yang drastis dalam diri Enny Kenangalem. Ia kini lancar berdialog dalam bahasa ibu dan mulai mengerti dengan belantara Papua. Karena Enny Kenangalem kini seorang dokter yang bertugas di Rumah Sakit Mitra Masyarakat, Timika setelah menyelesaikan studinya di Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado.***http://sibosnetwork.wordpress.com/***

*) Seorang Putra Yalimek Yang Terdampar Di Pulau Jawa

WILAYAH YALI MEK LAYAK DI MEKARKAN (II)

*) James S Yohame

Wilayah Yalimek yang terdiri dari 16 Distrik dan 216 Kampung yang saat
ini masih masuk dalam wilayah Kabupaten Yahukimo telah layak untuk dimekarkan menjadi
sebuah Kabupaten.
“Wilayah Yalimek layak untuk dimekarkan, karena terdiri dari 16 Distrik dan 216 Kampung
dengan luas kurang lebih 10.000 KM persegi, dengan jumlah penduduknya kurang lebih
110.000 jiwa,” ujar Ketua Tim Pemekaran Kabupaten Yalimek, Ottys Kambue, SE kepada koran
ini, Sabtu (23/5) lalu.
Menurutnya, nama Kabupaten Yalimek sendiri diambil dari dua nama suku besar yang berada di wilayah Distrik Anggruk hingga Bolakna Famek, dimana wilayah tersebut dihuni Suku Yali dan Mek yang digabungkan.
Masyarakat wilayah Yalimek menginginkan adanya pemekaran karena, wilayah tersebut telah memenuhi Undang-undang Otonomi Daerah Nomor 32 Tahun 2004 Bab II pembentukan
daerah kawasan khusus dan dalam pasal 2 menyatakan tentang pembentukan yang dalamnya
memenuhi syarat administratif, maka hal ini telah dimiliki daerah Yalimek.
“Wilayah Yalimek telah memiliki syarat administratif seperti yang diminta dalam
Undang-undang, diantaranya jumlah penduduk, jumlah Distrik dan Kampung serta luas
wilayah dan jangkauan pelayanan” kata Ottys.
Selain jumlah distrik dan kampung maupun penduduk, Yalimek juga memiliki beberapa faktor
pendukung untuk dimekarkan seperti ketersediaan lahan pertanian, hutan, serta kekayaan
sumber daya alam lain seperti pertambangan, terlebih lagi Sumber Daya Manusia (SDM) yang
siap untuk membangun daerah Yalimek kedepan agar lebih maju.
Adapun 16 Distrik yang masuk wilayah calon Kabupaten Yalimek dintaranya, Angguruk, Panggema, Pronggoli, Walma, Ubahak, Heriapini, Ubalihi, Yahuliambut, Kosarek, Konno, Nipsan, Talambo, Dirwemna, Endomen, Puldama, dan Nalca. Masih menurut Ottys Kambue, sarana trasportasi wilayah Yalimek memiliki 25 lapangan terbang misi dan eks misi yang masih rutin mendapat pelayanan, serta jalur jalan darat dan air yang menggunakan perahu motor.
“Untuk pemekaran wilayah Yalimek, kami telah mendapat dukungan dari DPRD Kabupaten
Yahukimo melalui rekomendasinya Nomor : 848/207/PIMP/DPRD-YHK/2006 tentang
pembentukan Kabupaten Yalimek dan pemberian kuasa kepada tim pemekaran Yalimek untuk
mengantar langsung aspirasi kepada yang berkepentingan,” tegas Ottys.*** Berbagai Sumber.

PEMEKARAN KABUPATEN DI PAPUA MASIH DI BUTUHKAN

WAMENA–Presiden SBY yang memerintahkan Mendagri untuk menyusun moratorium agar tahun 2010 tidak ada pemekaran kabupaten baru termasuk di Papua dengan alasan menunggu adanya grand desaign Negara RI seperti yang disampaikan salah satu anggota DPR Papua belum lami ini mendapat tanggapan serius dari ketua tim pemekaran calon Kabupaten Yalimek Ottys Kambue, SE.
Ia menilai SBY terlalu cepat mengeluarkan keputusan untuk tidak lagi dilakukan pemekaran kabupaten termasuk di Papua.
“Mengapa SBY secepat ini mengambil keputusan untuk tidak ada lagi pemekaran, karena masih banyak daerah di Papua yang menunggu pemekaran kabupaten seperti di Wilayah Angguruk Yalimek. Begitu juga di daerah lain di Papua juga masih membutuhkan adanya pemekaran wilayah untuk memperpendek jangkauan pelayanan pemerintah” katanya di Wamena,.
Menurutnya di Papua masih banyak orang yang menderita di daerah pedesaan dan masih butuh perhatian langsung dari pemerintah sehingga pemekaran merupakan salah satu solusi. Ia menyatakan pemerintah harus dapat melihat dengan jeli apakah wilayah tersebut layak untuk dimekarkan atau tidak dengan letak geogerafis wilayahnya serta potensi yang ada di wilayah tersebut.
“Jika satu daerah layak untuk dimekarkan jadi kabupaten ya bentuk kabupaten, karena itu bagian dari perjuangan masyarakat untuk mensejahterakan mereka” jelasnya.
Soal pernyataan yang di keluarkan Ketua Fraksi Pikiran Rakyat DPRP, Yan P. Mandenas, mengenai pemekaran jangan hanya untuk kepentingan elit politik daerah dan kesiapan SDM sebelum melakukan pemekaran, menurutnya, sebagai seorang wakil rakyat di DPRP harus melihat alasan dilakukannya pemekaran dan jangan langsung memvonis adanya kepentingan elit politik daerah atau kesiapan SDM.
Sebab sebelum mengusulkan pemEkaran pasti sudah dilakukan kajian-kajian terlebih dahulu. “Usulan itu juga didasarkan atas aspirasi rakyat,” imbuhnya.
“Jika pemekaran di Papua tidak lagi dilakukan maka kapan lagi masyarakat yang selama ini belum terjamah pemerintah dapat maju, berkembang dan sejahtera sebab masih banyak orang yang menderita di balik-balik gunung, ” tambahnya.(rza-Bintang Papua)

Selasa, 23 Maret 2010

DI SEKITAR MAMBERAMO, 12 SUKU TERASING MASIH MENGEMBARA.

Jayapura- Sebanyak 12 suku terasing orang asli Papua masih mengembara di kawasan Mamberamo, Kabupaten Mamberamo Raya hingga kawasan Waropen, Kabupaten Waropen dengan kondisi kehidupan yang memprihatinkan. Pegawai Kantor Pos Jayapura, Mikael Boneftar dalam keterangannya kepada wartawan di Jayapura, Rabu menuturkan, ke-12 suku terasing itu terdiri dari delapan suku di kawasan Mamberamo dan empat suku di kawasan Waropen.

Mikael bertemu dengan suku-suku terasing itu ketika dirinya mengantarkan surat-surat menggunakan perahu tradisional menelusuri sungai Mamberamo ke pos-pos pemerintahan maupun pos misionaris karena daerah itu hanya dapat dijangkau dengan perahu tradisional.

Jumlah suku terasing cukup banyak, namun pemerintah belum melakukan identifikasi jumlah dan berbagai latar kehidupan lainnya. Para suku terasing itu hidup secara nomaden dari satu lokasi ke lokasi lain dalam hutan belantera Papua.

Mereka mendirikan pondok-pondok sembari menebang sagu. Setelah menokok habis sagu untuk dimakan, mereka juga membawa sagu itu sebagai bekal dalam perjalanan untuk mencari pohon sagu yang lain serta berburu bintang hutan seperti kasuari, babi, kuskus pohon dan berbagai jenis reptilia.

Seluruh warga terasing itu tinggal di pohon-pohon dan dusun sagu yang tidak bisa dijangkau orang luar seperti misionaris, para peneliti maupun aparat pemerintah. Mereka dililit buta huruf, baik , menulis, membaca maupun berhitung) dan mereka hanya berbicara dalam bahasa ibunya.

Oleh karena itu, Boneftar berharap dengan dimekarkannya Kabupaten Mamberamo Raya dari Kabupaten Sarmi dan Kabupaten Waropen dari Kabupaten Yapen Waropen, aparat pemerintah harus lebih serius menangani warga masyarakat yang hidup terisolasi di kawasan Mamberamo hingga kawasan Waropen itu.

Sementara itu data pada Kantor Badan Pemberdayaan Masyarakat Kampung (BPMK) Provinsi Papua menyebutkan masih terdapat 14 titik di Provinsi Papua dan Papua Barat yang dihuni warga suku terasing, namun jumlah sukunya pun belum dipastikan, sebab pada umumnya mereka tinggal di daerah pegunungan, lembah dan rawa-rawa, sehingga sulit untuk diidentifikasi penanganannya.** (Papost)


Jamaica S Yohame, News

Kamis, 18 Maret 2010

PENGHARGAAN DARI SCHWELM


Pemberian Beasiswa Diberikan Dalam Empat Paket
"Hari ini serah terima penghargaan dari Merit Order of Merit dari Republik Federal Jerman kepada dua orang misionaris di Daerah Yalimek – Anggruk-. Sudah sangat special bagi mereka dua. Ini adalah hal baru dalam pemberian penghargaan dari Republik Federal Jerman, bahwa Ordo bahkan dua orang akan diberikan penghargaan atas pelayanan mereka di yalimek. "tegas Dr Arnim Brux.

Selasa sore, ia memberikan kata-kata ini kepada ke empat misionaris. Empat tempat di kursi terakhir kantor Schwelm di isi oleh Kreishaus, Klaus Reuter,, Ilse dan Dr Siegfried Zöllner.

Para Schwelmer (orang- orang yang kerja di kantor Schwelm) telah terlibat selama puluhan tahun di Papua Barat. Titik awal adalah kegiatan di Angguruk (Yalimek) di daerah misi Yalimo. Di sana, Ilse dan Dr Siegfried telah mengabdi dari tahun 1961-1973, sedangkan Erika dan Klaus Reuter bekerja dan tinggal 1971-1980.

Brux mencatat di awal pidato dengan situasi dari orang-orang pribumi (Yalimek – Papua barat) yang tertindas di Papua Barat oleh Indonesia. "Kebebasan, kemerdekaan dan pembentukan diri bagi orang Papua untuk tetap menjadi tuan di negeri sendiri menjadi mimpi. Diskriminasi dan heteronomy, kemiskinan dan pelanggaran hak asasi manusia selama lebih dari 48 tahun menjadi kenyataan pahit atas nilai kemanusiaan dalam hidup rakyat Papua dan menjadi sesuatu yang lumrah dalam kenyataan sehari-hari." Ujar Brux.

”DR. Siegfried, sebagai seorang penagih pajak tahun 1960, ia tercatat bekerja sebagai misionaris, dia adalah orang Asing pertama di daerah suku Yali dan mek. Dia belajar bahasa suku, dan membimbing istrinya untuk hidup tanpa listrik dan air dari keran. Tahun-tahun berikutnya, mereka membangun basis pasokan di bidang kedokteran dan pendidikan,. “Ujar Brux saat membacakan profil mereka.

Setelah pasangan Siegfried dan istrinya kembali dan bekerja di Jerman, Reuter bekerja terus di Papua Barat. "Jembatan dan jalan-jalan, rumah-rumah dan sebuah aula Gereja dibangun, dikembangkan lapangan terbang untuk pesawat terbang," kata Komisaris Schwelm tersebut.

Diprakarsai oleh mereka bahwa Beasiswa Schwelm mereka inisiatif untuk membiayai 50 orang anak Papua barat (lebih khusus Yalimek) yang sekolah di Papua maupun luar Papua.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 1996

TENTANG

PEMBENTUKAN LIMAPULUH TIGA KECAMATAN DI WILAYAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II JAYAWIJAYA, SORONG, MANOKWARI, NABIRE, MERAUKE, JAYAPURA, YAPEN WAROPEN, FAK- FAK, BIAK NUMFOR, KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II JAYAPURA, KABUPATEN PUNCAK JAYA, DAN KABUPATEN PANIAI DALAM WILAYAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I IRIAN JAYA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang:
a. bahwa mengingat keadaan wilayah yang cukup luas, kondisi geografis yang cukup berat dan terbatasnya sarana/prasarana transportasi dan komunikasi serta meningkatnya berbagai kegiatan pembangunan di wilayah Kabupaten-kabupaten Daerah Tingkat II Jayawijaya, Sorong, Manokwari, Nabire, Merauke, Jayapura, Yapen Waropen, Fakfak, Biak Numfor, Kotamadya Daerah Tingkat II Jayapura, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kabupaten Paniai dalam wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya, maka untuk lebih memperlancar pelaksanaan tugas-tugas pelayanan di bidang pemerintahan dan pembangunan serta untuk meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat, dipandang perlu membentuk Kecamatan baru di wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II dan Kabupaten tersebut;

b. bahwa sesuai ketentuan Pasal 75 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah, pembentukan Kecamatan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;


Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;


2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Propinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten- kabupaten Otonom di Propinsi Irian Barat (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2907) Juncto Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1973 tentang Perubahan Nama Propinsi Irian Barat menjadi Irian Jaya (Lembaran Negara Tahun 1973 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2997);

3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 1996 tentang Pembentukan Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Paniai, Perubahan Nama dan Pemindahan Ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II Paniai di Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3648);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan:

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEMBENTUKAN LIMA-PULUH TIGA KECAMATAN DI WILAYAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II JAYAWIJAYA, SORONG, MANOKWARI, NABIRE, MERAUKE, JAYAPURA, YAPEN WAROPEN, FAK-FAK, BIAK NUMFOR, KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II JAYAPURA, KABUPATEN PUNCAK JAYA, DAN KABUPATEN PANIAI DALAM WILAYAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I IRIAN JAYA.

=======================!!!==================================

Pasal 4

(1) Membentuk Kecamatan Kobakma di wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Jayawijaya, yang meliputi wilayah :

a. Desa Kobakma;

b. Desa Wanggulom;

c. Desa Seralema;

d. Desa Gimbis;

e. Desa Boroges;

f. Desa Anduang;

g. Desa Luarima;

h. Desa Ninugagas.

(2) Wilayah Kecamatan Kobakma sebagaimana dimaksud pada ayat (1), semula merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Bokondini.

(3) Dengan dibentuknya Kecamatan Kobakma, maka wilayah Kecamatan Bokondini dikurangi dengan wilayah Kecamatan Kobakma sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4) Pusat Pemerintahan Kecamatan Kobakma sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di Desa Kobakma.

Pasal 5

(1) Membentuk Kecamatan Ninia di wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Jayawijaya, yang meliputi wilayah :

A. Desa Ninia;

B. Desa Korupun;

C. Desa Holuwon;

D. Desa Yabi;

E. Desa Kabianggama;

F. Desa Langda;

G. Desa Bomela;

H. Desa Wanem;

I. Desa Sumo;

J. Desa Suntamon;

K. Desa Soba.

(2) Pusat Pemerintahan Kecamatan Ninia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di Desa Ninia.
(3) Wilayah Kecamatan Ninia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), semula merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Kurima.

Pasal 6

(1) Membentuk Kecamatan Apalapsili di wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Jayawijaya, yang meliputi

wilayah:
A. Desa Apahapsili;

B. Desa Walarek;

C. Desa Elelim I;
D. Desa Elelim II;
E. Desa Gilika;

F. Desa Werenggik.

(2) Pusat Pemerintahan Kecamatan Apalapsili sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di Desa Alapsili.
(3) Wilayah Kecamatan Apalapsili sebagaimana dimaksud pada ayat (1), semula merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Kurima.

Pasal 7

(1) Membentuk Kecamatan Anggruk di wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Jayawijaya, yang meliputi wilayah :

A. Desa Yaholikma;

B. Desa Hereki;

C. Desa Membaham;

D. Desa Heriapini;

E. Desa Pelentun;

F. Desa Ubahak;

G. Desa Saruk;

H. Desa Walma;

I. Desa Solinggul;

J. Desa Siwikma;

K. Desa Piliam;

L. Desa Pontengpilik;

M. Desa Pontengikma;
N. Desa Sali;

O. Desa Kosarek;

P. Desa Nohomas;

Q. Desa Sosomikma;

R. Desa Pinii;

S. Desa Kona;

T. Desa Endomen;

U. Desa Nipsan;

V. Desa Lelambo;

W. Desa Tibul;

X. Desa Sobundalek;

Y. Desa Nalca.

(2) Pusat Pemerintahan Kecamatan Anggruk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di Desa Yaholikma.
(3) Wilayah Kecamatan Anggruk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), semula merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Kurima.

Pasal 8

Dengan dibentuknya Kecamatan Ninia, Kecamatan Apahapsili, dan Kecamatan Anggruk, maka wilayah Kecamatan Kurima dikurangi dengan wilayah Kecamatan Ninia, wilayah Kecamatan Apalapsili dan wilayah Kecamatan Anggruk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 7 ayat (1).

Rabu, 17 Maret 2010

BUAH MERAH PAPUA (YALIMEK)

*) Jamaica 'Pinyi' Yohame
Buah Merah adalah sejenis buah tradisional dari Papua. Oleh masyarakat Yalimek, Papua, buah ini disebut Sak. Nama ilmiahnya Pandanus Conoideus Lam, karena tanaman Buah Merah termasuk tanaman keluarga pandan-pandanan dengan pohon menyerupai pandan, namun tinggi tanaman dapat mencapai 16 meter dengan tinggi batang bebas cabang sendiri setinggi 5-8 m yang diperkokoh akar-akar tunjang pada batang sebelah bawah.

Kultivar buah berbentuk lonjong dengan kuncup tertutup daun buah. Buah Merah sendiri panjang buahnya mencapai 55 cm, diameter 10-15 cm, dan bobot 2-3 kg. Warnanya saat matang berwarna merah terang, walau sebenarnya ada jenis tanaman ini yang berbuah berwarna coklat dan coklat kekuningan.
Bagi masyarakat di Yalimek, Buah Merah disajikan untuk makanan pada pesta adat bakar batu. Namun, banyak pula yang memanfaatkannya sebagai obat. Secara tradisional, Buah Merah dari zaman dahulu secara turun temurun sudah dikonsumsi karena berkhasiat banyak dalam menyembuhkan berbagai macam penyakit seperti mencegah penyakit mata, cacingan, kulit, dan meningkatkan stamina.

Kandungan dan khasiat
Adapun penelitian tentang khasiat pengobatan Buah Merah pertama kali dilakukan oleh peneliti dosen Universitas Cendrawasih di Jayapura yaitu Drs. I Made Budi M.S. sebagai ahli gizi dan dosen Universitas Cendrawasih sempat mengamati secara seksama kebiasaan masyarakat tradisional di Wamena, Timika dan desa-desa kawasan pegunungan Jayawijaya yang mengkonsumsi Buah Merah. Pengamatan atas masyarakat lokal berbadan lebih kekar dan berstamina tinggi, padahal hidup sehari-hari secara asli tradisional yang serba terbatas dan terbuka dalam berbusana dalam kondisi alam yang keras serta terkadang bercuaca cukup dingin di ketinggian pegunungan. Keistimewaan fisik penduduk lain yakni jarang yang terkena penyakit degeneratif seperti: hipertensi, diabetes, penyakit jantung dan kanker.
Dengan meneliti kandungan komposisi gizinya, ternyata dalam ujud sari Buah Merah itu banyak mengandung antioksidan (kandungan rata-rata):
Karoten (12.000 ppm)
Betakaroten (700 ppm)
Tokoferol (11.000 ppm)
Di samping beberapa zat lain yang meningkatkan daya tahan tubuh, antara lain: asam oleat, asam linoleat, asam linolenat, dekanoat, Omega 3 dan Omega 9 yang semuanya merupakan senyawa aktif penangkal terbentuknya radikal bebas dalam tubuh.
Betakaroten berfungsi memperlambat berlangsungnya penumpukan flek pada arteri. Jadi aliran darah ke jantung dan otak berlangsung tanpa sumbatan. Interaksinya dengan protein meningkatkan produksi antibodi. Ini meningkatkan jumlah sel pembunuh alami dan memperbanyak aktivitas sel T Helpers dan limposit. Suatu kutipan studi membuktikan konsumsi betakaroten 30-60 mg/hari selama 2 bulan membuat tubuh dapat memperbanyak sel-sel alami pembasmi penyakit. Bertambahnya sel-sel alami itu menekan kehadiran sel-sel kanker karena ampuh menetralisasikan radikal bebas senyawa karsinogen penyebab kanker.
Dalam beberapa penelitian terbatas yang dilakukan I Made Budi dengan metode pengobatan langsung dengan Sari Buah Merah, peneliti mengungkapkan keberhasilan yang amat tinggi dalam upaya pengobatan yang dilaksanakan terhadap beberapa penyakit.*** (Wikipedia.com/bebas)

Minggu, 14 Maret 2010

TIM SEPAK BOLA YALI PUTRA MENANG TELAK ATAS LANNY JAYA DAN KELUAR SEBAGAI JUARA.


Dalam Turnamen Sepak Bola POGY Cup

JAKARTA – Tim sepak bola Yali putra , berhasil mengalahkan Lanny Jaya 9-2, sekaligus keluar sebagai Juara I dalam turnamen Sepak bola POGY Cup Pegunungan tengah - Papua, Minggu (14/3). Gol kemenangan Yali putra tercipta melalui Eminus Bahabol, pada menit ke 9, 24 dan 66, selanjutnya Ronald Youw menyumbangkan 2 gol masing- masing pada menit ke 64 dan 85, di ikuti dengan gol Yuseawan Mohi pada menit ke 71, Samuel Rascho Helembo pada menit ke 32, Yupiter Lokon pada menit ke 28, dan Maret Giban pada menit ke 89 sekaligus sebagai gol penutup.

Bermain di hadapan ratusan supporter, para pemain Yali putra tak sedikit pun gentar.

Pertandingan baru berjalan sembilan menit, Eminus bahabol yang berdiri bebas berhasil menggetarkan gawang Lanny Jaya dengan tendangan kaki kirinya memanfaatkan bola liar hasil tendangan penjuru yang dilepaskan Yuseawan Mohi.

Berselang empat belas menit kemudian, melalui skema serangan balik yang cepat, lagi- lagi, Eminus berhasil mencetak gol kedua Yali putra ke gawang Lanny Jaya dan di ikuti gol Yupiter lokon pada menit ke 28 dan Samuel Rascho Helembo pada menit ke 32 yang bertahan hingga babak pertama usai.

Memasuki babak kedua, Yali putra tetap memegang kendali permainan, dan berhasil menambah lima gol ke gawang Lanny Jaya, melalui kaki Ronald Youw pada menit ke 64 dan 85, Yuseawan Mohi pada menit ke 71, Eminus bahabol pada menit ke 64, serta ditutup dengan gol Maret Giban pada menit 89.

Lanny Jaya hanya menambah 2 gol hiburan masing- masing pada menit ke 54 dan 67.

Lanny Jaya Putra nyaris tanpa peluang karena setiap serangan yang dibangun oleh Striker mereka selalu kandas di kaki pemain bertahan Yali putra yang dikomandoi oleh Yanes Silak dan kawan- kawan.

Tim sepak bola Yali putra memang sudah dari awal di prediksi bakal keluar sebagai juara terbukti dengan kemenangan tersebut dan keluar sebagai juara.

Prediksi ini bukan tanpa alasan, karena pada pertandingan sebelumnya, lawan pertama yang mereka hadapi adalah Tim Pogy sebagai penyelenggara turnamen ini mereka mengalahkan dengan skor 6 – 2, kemudian lawan kedua adalah Hipmapan dengan 6 – 4 dan terakhir lawan Lanny Jaya menang telak 9 – 2 sekaligus keluar sebagai Juara dalam turnamen POGY cup. (Jama!ca – News).

SELAMAT BUAT YALI PUTRA, NORI WA.

PELAJARAN BERHARGA DARI BALIK GUNUNG.


*)Vera Solung-Loupatty

Yalimo merupakan sebuah kabupaten baru di Provinsi Papua yang dimekarkan dari Kabupaten Jayawijaya pada tanggal 21 Juni 2008. Kabupaten Yalimo terdiri dari 5 distrik/kecamatan, yaitu Elelim, Abenahu, Apalapsili, Welarek dan Benawa, dengan luas sekitar 1.260 km2. Jumlah penduduk di kabupaten ini sekitar 36.000 orang. Jarak antar distrik sangatlah jauh. Ada yang bisa ditempuh dengan jalan darat (kendaraan dan jalan kaki) dan ada yang bisa ditempuh dengan pesawat berpenumpang 4-8 orang. Dua distrik (Elelim dan Abenaho) dapat ditempuh melalui jalan darat dengan kondisi jalan yang sulit. Hanya mobil 4 wheel drive/4 x 4 (double gardan) yang dapat dipakai untuk melalui jalan darat, bahkan lebih aman menggunakan mobil yang bertenaga turbo karena kondisi jalan yang sulit, yakni melalui lereng-lereng terjal, gunung-gunung yang tinggi dan berkabut (sekitar 4000 m di atas permukaan laut) bahkan derasnya aliran sungai. Tiga distrik lainnya hanya bisa dicapai melalui jalan setapak (bukan jalan mobil) yang terjal dan sulit. Perjalanan melalui jalan setapak ini membutuhkan waktu berhari-hari karena melalui gunung-gunung yang tinggi dan terjal dan hutan rimba yang lebat.

Jarak antara Wamena (ibukota Kabupaten Jayawijaya) dan Elelim (ibukota Kabupaten Yalimo, yang menjadi tujuan perjalanan ini)) kurang lebih 140 km. Sebenarnya jarak ini tidak terlalu jauh, tapi membutuhkan waktu sekitar 6 sampai 7 jam dengan kendaraan karena kondisi jalan yang sulit.

Di tiap distrik (antara lain seperti: Elelim, Apalapsili, Welarek) sudah ada lapangan terbang rumput yang dibuat oleh badan-badan misi yang bekerja di Papua maupun oleh GKI di Tanah Papua untuk kepentingan pelayanan. Lapangan-lapangan terbang ini hanya bisa didarati oleh pesawat-pesawat kecil yang berpenumpang 4 sampai 8 orang. Ini cukup mempermudah transportasi ke daerah-daerah tersebut. Penerbangan ke daerah-daerah ini yang biasa dilakukan oleh penerbangan Mission Aviation Fellowship tidak secara reguler, tetapi berdasarkan permintaan atau carteran.

Dalam perjalanan menuju Elelim, ada satu pertanyaan di benak saya, ”Benarkah ada ’kehidupan’ di sana?” Pertanyaan tersebut muncul karena untuk mencapai Elelim harus melewati lapisan pegunungan yang dihiasi oleh lebatnya hutan perawan dan sulitnya medan. Namun ternyata ketika tiba di sana, saya justru menjumpai kehidupan yang sangat bersahaja, baik karena alam yang begitu indah maupun keramah-tamahan penduduknya. Pada pagi dan malam hari, deretan pegunungan bagaikan pagar yang mengelilingi rumah sehingga terasa amanlah penghuni di dalamnya. Bagi saya (dan kami yang berkunjung ke sana) terajak untuk merenungi betapa indah dan berharga alam ciptaan Tuhan. Setiap bertemu dengan penduduk setempat, mereka akan memberi salam dan jabatan tangan. Ini membuat saya kagum dengan mereka, sebab sekalipun mereka tinggal di tempat yang dikelilingi barisan pegunungan yang tinggi dan hutan yang lebat, tetapi mereka memiliki rasa hormat yang tinggi kepada sesama manusia.

Kabupaten Yalimo sering disebut juga sebagai wilayah Gereja dalam hal ini Gereja Kristen Injili di Tanah Papua (GKI di Tanah Papua). Hal ini mengartikan bahwa orang-orang Yalimo yang terdiri dari satu suku, yaitu suku Yali mengenal peradaban dari pelayanan Gereja. Sehubungan dengan hal ini, peran para pendeta, penginjil (lokal dan luar negeri) sangatlah penting. Oleh karena peran para hamba Tuhan inilah, meskipun mereka tinggal di balik gunung, tetapi hidup mereka sangat bersahaja. Injil Yesus Kristus begitu kuat mempengaruhi kehidupan mereka. Sehubungan dengan hal ini, saya sangat tertarik dengan peran penginjil lokal. Mereka menginjili orang-orang yang belum mengenal Injil dan berusaha untuk mendampingi mereka yang telah menerima Injil sekalipun mereka harus berjalan kaki berhari-hari, membiarkan diri hanyut dibawa arus untuk mencapai lokasi-lokasi tertentu, tanpa peduli dana penunjang yang minim bahkan sering tersendat-sendat dan binatang buas yang berkeliaran di hutan. Pemberian diri mereka telah membuat begitu banyak orang dapat mengenal Injil dan peradaban, padahal jujur saja, mereka sangat sulit tersentuh oleh peradaban karena sulitnya untuk mencapai mereka. Oleh sebab itulah, saya hanya menjumpai sedikit orang yang masih menggunakan koteka dan tidak menjumpai kaum perempuan yang tidak berpakaian, tetapi dalam acara-acara tertentu, mereka akan tampil dengan berpenampilan khas suku Yali (laki-laki menggunakan koteka, perempuan bertelanjang dada dan mengenakan kam ataupun semacam rok yang terbuat dari tali hutan/tali rafia untuk menutupi aurat). Tidak kalah menarik juga peran misionaris yang telah menghasilkan Alkitab PL dan PB dalam bahasa Yali. Hal ini menggugah hati saya sebagai seorang Pendeta dengan beberapa pertanyaan, apakah saya benar-benar telah memberi diri untuk memanusiakan sesama manusia dalam konteks pelayanan saya? Apakah uang harus selalu dijadikan tolok ukur dalam melayani ??? Saya juga tertarik tentang kampak, kam dan noken. Kampak digunakan digunakan oleh laki-laki untuk bekerja/memotong kayu. Kam digunakan untuk menutupi aurat perempuan. Noken adalah tas yang aslinya terbuat dari tali kayu. Saya melihat pada umumnya, kaum perempuan yang memakai noken. Caranya : tali noken diletakkan di kepala dengan posisi noken di belakang bukan di depan. Ubi-ubian dan benda-benda lainnya bahkan seorang bayi dapat diletakkan di dalamnya.

Saya terkesima dengan penjelasan seorang Kepala Suku khususnya tentang kampak dan noken. Kampak merupakan simbol bahwa seorang laki-laki harus pergi bekerja, misalnya ia harus menanam di kebun. Seorang perempuan (dalam hal ini isteri), selain bekerja di rumah, ia juga harus menunjang suaminya dengan turut memelihara apa yang ditanam. Ketika panen tiba, seorang perempuan akan turut membawa hasil-hasil kebun dengan memasukkannya ke dalam noken lalu dibawa pulang ke rumah. Mereka yang tinggal dikelilingi oleh lapisan gunung ini, ternyata menyimpan falsafah hidup yang tidak terbentuk setelah melewati berbagai seminar, simposium ataupun lokakarya. Kehidupan yang penuh misteri di balik gunung ini tidak hanya menyimpan kekayaan alam yang sangat potensial untuk memajukan masyarakat, tetapi juga menyimpan kekayaan intelektual khususnya tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.

*) Penulis, dosen Fakultas Teologi UKIT.

SOSIALISASI DAN PENERAPAN MODEL REVITALISASI PERTANIAN PANGAN MASYARAKAT TRADISIONAL

*) James S Yohame

Sebagai upaya memperkuat ketahanan pangan lokal telah, dilakukan sosialisasi dan penerapan revitalisasi pertanian pangan lokal di Jayapura dan Wamena. Kegiatan yang dilakukan tanggal 3-8 Maret lalu merupakan upaya menumbuhkan budaya Iptek melalui pembuatan pupuk organik, diversifikasi pangan dari ubi jalar, serta teknik pengawetan makanan berbasis budaya lokal.

Sosialisasi dilaksanakan dalam bentuk diskusi tema khusus, dimana peserta antusias memberikan kritik, saran dan masukan. Narasumber menjelaskan beberapa model revitalisasi dan metode pemberdayaan yang dianggap paling tepat bagi masyarakat tradisional di wilayah pegunungan itu adalah pendampingan kelompok. Mengingat dalam kajian terdahulu ditemukan bahwa masyarakat setempat masih sangat komunal dan selalu mengembangkan kegiatan secara kolektif. Suasana kehidupan yang sudah kondusif di wilayah itu memungkinkan bagi penerapan teknik-teknik partisipatif untuk meningkatkan kapabilitas masyarakat dan kelembagaan.

Dari hasil pertemuan dapat disimpulkan bahwa para peserta sangat berminat dengan model pendampingan kelompok, terutama pada sasaran kegiatan yang diharapkan mampu mengangkat budaya masyarakat yang semula bersifat mistis primordialis, terkungkung oleh tradisi turun-temurun, menjadi budaya yang lebih bersifat possibilistis, lebih terbuka bagi berbagai kemungkinan perubahan.

Pertemuan yang diselenggarakan oleh Zulyani Hidayat, Kabid Budaya Industri, Asdep Pengembangan Budaya Iptek, dengan narasumber dari Universitas Cenderawasih: Agapitus Dumatubun, Naffi Sanggenafa, Akhmad Kadir dan Ibrahim Peyon. Dihadiri oleh 30 orang peserta, terdiri dari staf Dinas Pertanian Pangan dan Hortikultura Papua di Jayapura, Badan Ketahanan Pangan Jayawijaya di Wamena, Dinas Pertanian dan Hortikultura Kab. Jayawijaya di Wamena, para Kepala Desa, mahasiswa, tokoh masyarakat dan LSM setempat. Pada kesempatan itu Bupati Jayawijaya, John Wempi Waitipo dan Wakil Bupati, John Richard Banua berkeinginan menjalin kerjasama dengan KNRT khususnya untuk mengaktifkan kembali program-program pengembangan dan pemanfaatan Iptek yang pernah dilakukan oleh BPPT dan LIPI di Wamena dan sekitarnya.

*** (News)

Sabtu, 13 Maret 2010

KETIKA KEMISKINAN DAN KETERBELAKANGAN DI PAPUA DI ANGGAP 'LUMRAH' DALAM PROSES PEMBANGUNAN


Sebuah Refleksi Atas Pembangunan Yang Tak Berwawasan Kemanusiaan

*) Pietsau Amafnini

Kemiskinan adalah kondisi umum yang dijumpai pada kehidupan masyarakat asli di Tanah Papua. Hal kemiskinan dan keterbelakangan sebagai akibat dari ketertindasan masyarakat asli Papua ini nampak pada rendahnya pendapatan keluarga, rendahnya pendidikan, tingginya angka orang sakit yang tidak tertolong, dan tingginya kematian ibu dan anak (bayi). Masyarakat asli Papua hidup dalam serba kesulitan dan keterbatasan, karena kebijakan publik dari pemerintah yang tidak memihak dan menguntungkan rakyat. Berbagai macam produk hukum berupa peraturan perundang-undangan tidak mengakomudir hak-hak dasar masyarakat dan tidak bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan dasar rakyat di bidang ekonomi, sosial budaya, pendidikan, kesehatan dan politik, termasuk hak akses masyarakat adat dalam pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan. Sebagai akibat dari pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan dan berbasis masyarakat adalah kerusakan hutan yang membawa efek pada kesulitan akses air bersih dan pangan lokal.

Kebutuhan dasar rakyat yang meliputi pangan dan air bersih, juga merupakan hal yang semakin sulit dipenuhi. Kesulitan air bersih disebabkan oleh kondisi alam di Papua yang terdiri dari gunung-gunung terjal dan sebagian besar rawa-rawa dan sungai keruh. Di banyak tempat di Papua, masyarakat bertahan hidup dengan mengkonsumsi air hujan. Sementara itu rakyat semakin sulit memenuhi kebutuhan pangannya. Hutan sagu telah banyak digusur oleh pengusaha HPH, dan Hutan mangrove di pesisir laut dan pantai sebagai sumber udang dan ikan juga dikeruk habis oleh investor. Rakyat kini juga mulai terbiasa dengan beras miskin (raskin) yang dibagikan oleh pemerintah. Hal ini menyebabkan konsumsi rakyat bergeser dari sagu dan ubi ke beras. Jika raskin tidak ada, rakyat harus membeli beras, sementara sagu dan keladi semakin menghilang dari lahan-lahan mereka. Efek lain adalah tergesernya pola hidup produktif menjadi konsumtif sangat nampak pada masyarakat asli Papua, karena secara langsung maupun tidak langsung pemerintah telah menciptakan ketergantungan masyarakat pada bantuan pemerintah dan bahan makanan yang diimport/dipasok dari luar Papua, termasuk beras miskin (raskin) yang didatangkan dari Taiwan. Mengapa tidak membangun dari dan dengan apa yang sudah ada pada masyarakat Papua?

Pada tahun 2005-2006, Indonesia kembali tersentak oleh sebuah berita mengenaskan dari Papua. Cerita ini merupakan sebuah defacto pengalaman pahit di Yahukimo. Lebih dari 55 penduduk meninggal dunia dan 112 orang sakit di Kabupaten Yahukimo. Bukan lantaran wabah penyakit mereka meregang nyawa, tapi akibat kelaparan. Bagaimana bisa? Di Indonesia yang subur dan makmur masih ada penduduk mengalami kelaparan. Tapi, inilah kenyataan. Kelaparan di tujuh (7) distrik dan 10 pos pemerintahan di Kabupaten Yahukimo, disebabkan sekitar 55.000 penduduk di tujuh distrik itu kehabisan makanan umbi-umbian karena terlambat menanam dan gagal panen. Daerah pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya ini hanya dapat dijangkau dengan pesawat terbang. Bupati Yahokimo Ones Pahebol membenarkan bahwa kondisi masyarakat di tujuh distrik dan 10 pos pemerintahan di Yahokimo sangat memprihatinkan. Penduduk di daerah itu tak lagi memiliki makanan apa pun untuk dikonsumsi. ”Makanan umbi-umbian sudah habis sejak Oktober 2005. Tidak ada jenis makanan lain karena masyarakat terlambat menanam, sementara hasil panen tahun 2006 dipastikan gagal total karena kekeringan”.

”Biasanya masyarakat membuat kebun dan melalui proses tanam hingga panen umbi-umbian tepat waktu, tetapi sekitar enam bulan lalu ada kegiatan musiman di distrik-distrik tersebut sehingga mereka terlambat menanam pada tahun 2005 dan gagal panen pada tahun 2006 karena kekeringan. Sementara masyarakat yang berdiam di daerah pegunungan di Yahukimo sangat bergantung pada satu jenis makanan hutan yang disebut ”kelapa hutan”. Ketika musim kelapa hutan tiba, masyarakat dengan mudah mengonsumsi makanan ini tanpa harus bekerja. Mereka bisa mengambil kelapa hutan itu dari hutan dengan leluasa, kemudian merebus dan memakannya. Namun, ketika musim itu berganti, masyarakat tidak memiliki bahan makanan lagi karena mereka tidak mempersiapkan bahan pangan cadangan. Mereka tetap menunggu musim kelapa hutan tiba kembali. Padahal, kelapa hutan itu tumbuh secara musiman dan tidak menentu. Masalah lain, di gunung-gunung dan bukit tempat tinggal warga tersebut tidak ada pasar. Daerah itu sangat terisolasi dan jauh dari pusat ibu kota kabupaten maupun provinsi. Akses masyarakat sangat terbatas. Kondisi kesehatan masyarakat di sana juga tergolong buruk. Banyak yang menderita TB paru, infeksi saluran pernapasan akut, muntah berak, dan malaria. Tidak ada sarana pelayanan kesehatan seperti puskesmas, apalagi petugas kesehatan yang bertugas di daerah-daerah itu. ”Saat ini masyarakat di tujuh distrik itu butuh makanan, obat-obatan, dan tenaga medis. Yang cepat memberi perhatian adalah bantuan dari Pemerintah Daerah Asmat berupa satu ton beras, tetapi tidak cukup dibagikan kepada penduduk yang mengalami kelaparan karena terbatas”.

Pendirian Yahukimo ditetapkan menurut Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2002. Kabupaten ini merupakan kabupaten hasil pemekaran Kabupaten Jayawijaya dan diresmikan pada 12 April 2003. Nama Yahukimo berasal dari nama empat suku yang bermukim di sana, yaitu Yali, Hubla, Kimyal, dan Momuna. Di kabupaten ini terdapat dua daerah yang cukup terkenal untuk penggemar trekking, yaitu Kurima dan Anggruk. Pada 9 Desember 2005, dilaporkan bahwa sekitar 55 orang penduduk di Kecamatan Krapon meninggal dunia akibat kelaparan karena terlambat menanam umbi-umbian yang menjadi sumber makanan di daerah tersebut. Daerah tersebut terpencil dan hanya dapat dijangkau melalui pesawat terbang. Pada Pemilu 2004, Yahukimo dibagi kepada tiga distrik pemilihan, yaitu Kurima, Ninia, dan Anggruk. Ada 90 desa di kabupaten ini. Saat peristiwa kelaparan dilaporkan pada Desember 2005, terdapat sedikitnya tujuh distrik. Sejak dibentuk pada April 2003 hingga sekitar September 2005, Yahukimo diperintah dari Wamena, ibu kota Kabupaten Jayawijaya. Bupatinya baru mulai menempati kantor di Sumohai sejak September 2005.

Sementara itu, pada 15 Desember 2005 Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Aburizal Bakrie menyangkal fakta-fakta di lapangan bahwa tidak ada kelaparan di Kabupaten Yahukimo, Papua yang ada penduduk mengalami kekurangan bahan makanan pokok ubi jalar akibat gagal panen. "Hasil kunjungan Tim Gabungan dipimpin Menko Kesra ke lokasi yang dianggap daerah bencana di Yahukimo, (11/12) tidak ditemukan telah atau sedang terjadi wabah kelaparan, terbukti sebagian besar penduduk berbadan gemuk, tanaman jagung, pisang dan kubis tumbuh subur," katanya kepada pers, di Jakarta, Kamis sore (15/12). Menurut Ical (panggilan Aburizal Bakrie), sejumlah pemberitaan yang menyebutkan 55 warga Yahukimo tewas dalam empat bulan terakhir akibat kelaparan berdasarkan laporan LSM adalah data yang belum diverifikasi kebenarannya. Sedangkan menurutnya, ratusan warga Yahukimo dilaporkan sakit saat ini karena sakit malaria, cacingan dan bukan karena busung lapar.

Pemerintah mengirimkan bantuan sejak berita dugaan kelaparan di Yahukimo disiarkan media pada (10/12), yakni sekitar 45 ton berupa bahan makanan dan obat-obatan serta pada Januari 2006 akan dikirm bantuan senilai Rp 21 miliar berupa bahan makanan dan obat-obatan untuk jangka waktu enam bulan. Pada kesempatan terpisah, Menko Kesra menyatakan bantuan bahan makanan, obat-obatan dan tim dokter telah sampai di 13 titik wilayah rawan pangan di Kabupaten Yahukimo. "Makanan, dan obat-obatan sudah sampai ke sana. Dokter-dokter sudah memberikan konfirmasi bahwa tidak ada bencana kelaparan. Dan semua dokter masih ada di sana semua," katanya. Sementara utuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya hal-hal serupa di masa mendatang, tambah Menko kesra pemerintah akan melakukan beberapa langkah yakni, setiap titik (desa) di wilayah Yahukimo akan dilengkapi dengan peralatan komunikasi berupa Single Side Band (SSB) untuk 91 desa.

"Satu komunitas disana itu hanya ada sekitar 100 sampai 200 orang. Dan sulit transportasinya, hanya bisa jalan kaki, sehingga perlu alat komunikasi," kata Ical. Upaya lain, pemerintah akan membangun lumbung-lumbung pangan dan mengirimkan penyuluh pertanian, agar mereka tidak tergantung oleh musim. Selain itu, program jangka panjang untuk mencegah rawan pangan di Kabupaten Yahukimo, yakni peningkatan metode pertanian, sarana kesehatan dan pendidikan dasar, membangun jalan raya menghubungkan Jayapura dan Merauke serta penciptaan pusat pertumbuhan agar terjadi migrasi natural dari gunung ke kota. Meski upaya penanggulangan bencana kekeringan di Kabupaten Yahukimo oleh pemerintah pusat yang penangganannya langsung dibawah Interdep (Lintas Departemen) dengan dana bantuan sebesar Rp 68 miliar, namun DPRD Yahukimo tetap meminta agar dana itu diaudit penggunaannya.

Wakil Ketua DPRD Kabupaten Yahukimo Abok Busup,S.Th,M.Si menilai, Interdep telah gagal melaksanakan upaya penanggulangan bencana kekeringan di Yahukimo, mengingat selain program pengadaan sembilan bahan makanan (bama) pokok bagi 17 titik wilayah rawan bencana kekeringan tidak terelisasi dengan baik, Bama yang seharusnya diberikan dengan gratis malah disalahgunakan dengan diperjualbelikan. “Selain itu, program pengembangan varietes umbi bagi masyarakat tidak tersosialisasi dengan baik, bahkan saat ini dari 17 titik yang dijadikan lahan untuk pengembangan varietas tersebut tidak berjalan lagi," tegas Abok Busup kepada wartawan, kemarin. Dikatakan, gagalnya program penanggulangan bencana kekeringan yang berlangsung kurang lebih sembilan bulan dan baru berakhir pada akhir Agustus lalu itu dinilai karena tidak dilibatkannya pemerintah daerah dalam melaksanakan program-program penanggulangan bencana kekeringan. " Kami di daerah sama sekali tidak dilibatkan dalam pelaksanaan program-program penanggulangan bencana ini, semua dihandel langsung oleh tim yang disebut Interdep yang langsung datang dari pusat, baik itu tenaga dokter dan lainnya sebagainya. Sehingga kalau program ini gagal maka yang bertanggungjawab terhadap penggunaan dana bantuan sebesar Rp 68 miliar itu adalah Tim Interdep.

Kegagalan pelaksanaan program penanggulangan bencana kekeringan di Kabupaten Yahukimo dapat dilihat dari program pengembangan varietes umbi jalar yang seharusnya dilaksanakan di 17 titik wilayah rawan kekeringan tetapi yang berhasil dilaksankan hanya di ibukota Yahukimo, yakni Dekai saja, semenatara di 16 titik lainnya tidak ada hasilnya. Untuk itu sebagai wakil rakyat, dirinya meminta agar penggunaan dana bantuan kekeringan diKabupaten Yahukimo di Audit mengingat terindikasi terjadi penyimpangan penggunaan anggaran.

Ironisnya, Gubernur Papua J.P. Salossa dengan enteng mengatakan, kelaparan di Yahukimo itu hal lumrah. Kelaparan terjadi karena kondisi alam tidak memungkinkan menanam tumbuhan umbi-umbian sebagai makanan pokok penduduk. "Yahukimo sebagian merupakan daerah panas, malaria juga bisa masuk ke sana," ucap Salossa. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie yang telah berkunjung ke Yahukimo pun membantah ada kelaparan. Menurut dia, yang terjadi adalah gejala awal kelaparan. Sekretaris Jenderal Kementerian Kesra Sutejo Yuwono kembali memastikan, tidak semua dari 55 warga Yahukimo meninggal akibat kelaparan. Data dari LSM dianggap sumir karena catatan resmi dari pejabat lokal soal indikasi penyebab kematian tidak tersedia. Pemerintah saat ini, kata Sutejo, berpegang pada hasil penyelidikan tim medis bersama tim Kementerian Kesra. "Yang dideteksi oleh dokter, baru-baru ini, tidak ada warga terindikasi kelaparan," jelas dia. Gagal panen seperti dilansir media massa belakangan ini juga tidak terbukti. "Ada tumbuhan jagung, pisang, sayuran, dan ternak babi mereka gemuk," tambah Tejo.

Peneliti sosial asal Papua Natalies Pigay menyangsikan fakta yang dibeberkan Kementerian Kesra. "Saya khawatir [pemeriksaan] hanya di Sumohai [daerah perkotaan]," ucap Natalies yang turut menjadi narasumber dalam dialog SCTV. Namun, Natalies mengajak tidak berdebat soal angka dan penyebab kematian. Tindakan nyata mengatasi masalah tersebut yang ditunggu. Sebab, persoalan kelaparan di Yahukimo kerap terjadi, yaitu sekitar tahun 1989, 1997, dan 2004. Menurut Profesor Budi Santoso, antropolog dari Universitas Indonesia, masyarakat Papua masih mengandalkan alam sebagai sumber kehidupan. Layaknya masyarakat tradisional, mereka mencari makan hanya untuk keperluan satu hari. "Sambil berburu kadal," kata Budi yang pernah meneliti kehidupan masyarakat Papua. Mereka tidak pernah menyimpan makanan untuk jangka waktu panjang dan tidak mengenal pasar seperti lumrah di pulau-pulau lain di Indonesia. "Sangat bergantung pada kemurahan alam," ujar dia. Mengingat pola hidup seperti itu, kata Budi, memungkinkan sekali warga Yahukimo yang termasuk wilayah pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya mengalami underfood atau kelaparan. Sebab, kekebalan tubuh kurang sehingga mudah terserang penyakit. Terlebih, tenaga medis di sana minim. Bayangkan untuk satu kabupaten hanya tersedia seorang dokter dan satu pusat kesehatan masyarakat. Yahukimo dalam pandangan Natalies adalah wilayah terisolasi dengan tingkat pendidikan sangat rendah.

Natalies juga menyebut sebagai masyarakat telanjang di Abad 21. Pasalnya, hanya sedikit penduduk di kabupaten yang 90 persen tanahnya merupakan hutan, berpakaian seperti layaknya manusia. Dia membenarkan, penduduk Yahukimo tidak mengenal mekanisme pasar dan hidup nomaden mencari lahan untuk berladang. "Situasi seperti ini pemerintah sudah tahu, tapi tidak pernah ada antisipasi," tegas dia. Pemekaran wilayah yang terlalu banyak dinilai Natalies juga menjadi penyebab kelaparan terjadi. Untuk mengakali kondisi demikian Natalies berharap pemerintah membuat lumbung di setiap kecamatan bahkan sampai ke desa. Adanya lumbung makanan di Wamena--pusat pemerintahan sementara Yahukimo--kurang tidak dirasakan manfaatnya oleh penduduk yang rata-rata tinggal di pelosok. "Ibarat tikus mati di lumbung padi," kata Natalies.

Secara umum wilayah Papua, kata Tejo, memang lebih tertinggal karena ketersediaan infrastruktur dan petugas belum maksimal. Namun, dia tidak setuju jika penduduk Yahukimo disebut tidak mengenal pakaian. Bahkan mereka sudah memahami pentingnya pendidikan. "Satu atau dua warga mulai berdagang ke kota untuk mencari biaya anak sekolah," papar Tejo. Soal membuat lumbung, menurut Tejo, masih menunggu keputusan pejabat setempat untuk mencari bentuk lumbung yang tepat. Agar persoalan serupa tidak terjadi lagi Kementerian Kesra menurunkan tenaga penyuluh untuk mengarahkan penduduk supaya tidak melulu menanam ubi jalar. "Bisa dimodifikasi antara jagung atau ketela pohon," tutur Tejo. Sarana komunikasi dan informasi juga tengah disiapkan. Jajaran Kementerian Kesra dalam waktu dekat akan kembali ke Yahukimo. Dengan melibatkan LSM setempat pemerintah mengajak duduk bersama mencari solusi mengubah pola hidup masyarakat yang sudah mengakar. Natalies setuju konsep yang dipaparkan Tejo. "Tapi, lebih bagus jika dibuat dalam perjanjian," ujar dia.

Busung lapar dan gizi buruk bukan cuma "monopoli" masyarakat Yahukimo. Puluhan bocah di sebagian Pulau Jawa, Nusatenggara Barat, dan Nusatenggara Timur juga menderita penyakit sejenis. Bedanya, kasus di ketiga wilayah itu disebabkan kemiskinan. Pemerintah memang bergerak cepat. Miliaran rupiah digelontorkan untuk membantu korban. Dan, untuk satu sampai tiga bulan bantuan itu cukup. Masyarakat kembali kalut setelah bantuan habis. Mereka pun kembali berjuang mengais rejeki untuk membeli sesuap nasi.

Selain cerita dari wilayah pegunungan Yahukimo di atas, kondisi kehidupan masyarakat pesisir pantai dan pemukim di daerah aliran sungai (DAS) juga sama halnya. Orang asli Papua di dataran rendah, pesisir pantai dan DAS pada umumnya kehilangan lahan untuk berkebun, areal berburu dan menokok sagu karena tanah adat mereka sudah dikapling-kapling untuk kepentingan perusahaan-perusahaan skala besar seperti HPH (Hak Pengusahaan Hutan), HTI (Hutan Tanaman Industri), pertambangan, pemukiman transmigrasi, pemukiman perkotaan dan lain sebagainya. Misalnya, di Kabupaten Sarmi-Mamberamo, masyarakat kehilangan hak akses atas areal seluas 2 juta hektar yang telah dikapling untuk HTI perkebunan sawit dan singkong (biofeol). Di kabupaten Waropen, masyarakat kehilangan lahan seluas 60,000 hektar untuk lahan konsesi pertambangan. Di Teluk Wondama, masyarakat kehilangan lahan seluas 80,000 hektar untuk HTI perkebunan sawit. Di Teluk Bintuni, masyarakat kehilangan lahan seluas 3000 hektar karena proyek kilangan gas alam cair LNG Tangguh (BP Indonesia) dan 90,000 hektar untuk HTI perkebunan sawit dan transmigrasi nasional. Kabupaten Manokwari telah membuka lahan 13,850 dari 17,000 hektar yang disediakan untuk HTI perkebunan sawit dan 47,000 hektar untuk HTI perkebunan pohon karet. Sementara di Sorong, PT. Intimpura telah mengubah areal HPH menjadi HTI perkebunan sawit seluas 5200 hektar dan 3000 hektar di Sorong Selatan untuk HTI perkebunan sawit. Di pulau Ayau, Raja Ampat, masyarakat kehilangan 1200 hektar yang diklaim untuk pertambangan dan 750 hektar untuk HTI perkebunan sawit.

Dengan melihat kondisi seperti tersebut di atas, maka dapat dipastikan bahwa HPH dapat berlih menjadi HTI untuk kepentingan Pertambangan yang justru menjadi penyebab hilangnya hak masyarakat asli Papua, dan kerusakan lingkungan yang lebih fatal buruknya karena pengelolaannya tidak berkelanjutan. Pembangunan seperti ini justru mengancam ketahanan hidup masyarakat lokal di Papua.

Kebiasaan masyarakat adat/asli di Papua pada umumnya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka adalah melakukan usaha-usaha sesuai dengan kearifan lokal yang sudah ada sejak zaman leluhurnya. Mereka memanfaatkan sumberdaya hutan dan sungai secara tradisional. Mereka melaut dan meramu hasil hutan, berburu dan berkebun dalam ukuran kecil hanya untuk menanam ubi-ubian dan sayur mayur. Ketika perusahaan-perusahaan HPH, HTI dan pertambangan masuk ke wilayah mereka, sebagian masyarakat ikut bekerja sebagai tenaga kerja buruh kasar (tukang pikul) di perusahaan dengan upah di bawah standar UMR Papua. Sedangkan sebagian besar tidak dapat diserap sebagai tenaga kerja di perusahaan. Namun, pada umumnya masyarakat bukan hidup dari upah kerja di perusahaan. Kini dampak buruk tebang habis yang dilakukan perusahaan mulai terasakan oleh masyarakat sekitar. Sagu yang tumbuh subur telah berkurang drastis karena dibabat perusahaan, sedangkan mesin-mesin mereka melindas pohon-pohon sagu kecil yang mulai tumbuh. Pemerintah daerah sendiri tidak ambil peduli dengan keadaan ini, bahkan pemerintah pernah mengijinkan beroperasinya PT. Sagindo Lestari, sebuah perusahaan tepung Sagu milik PT. Djayanti Group, di distrik Aranday – Teluk Bintuni yang dahulu kaya pohon Sagu, sekarang rawan pangan karena pohon sagu habis ditebang tanpa penanaman kembali.

Masuknya unsur beras miskin (raskin) yang difasilitasi oleh pemerintah justru membuat masyarakat bergantung pada beras miskin tersebut. Sagu dan ubi-ubian sudah digeser oleh ‘beras miskin’. Jika dalam sebulan jatah beras miskin tidak diperoleh karena keterlambatan pihak pemerintah distrik dalam mengurus prosesnya, maka artinya selama sebulan itu masyarakat tidak mempunyai makanan alternatif lain. Sedangkan untuk memperoleh sagu pun membutuhkan waktu cukup lama, karena hutan sagu kini letaknya sangat jauh, harus diambil dengan menggunakan sarana perahu dayung atau motor johnson dengan harga bahan bakar minyak (BBM) yang sangat mahal.*** (Dari Berbagai Sumber.

*) Penulis adalah Wartawan JUBI Papua dan Koordinator JASOIL Tanah Papua-2007

Jumat, 12 Maret 2010

PERJALANAN TEAM MOBILE CLINIC (TMC) KE DISTRIK ANGGRUK – YALIMEK-

*) James S Yohame

Program percepatan pembangunan bidang kesehatan oleh Departemen Kesehatan RI bagi Provinsi Papua dan Papua Barat sejak tahun 2008 sampai dengan saat ini telah terlaksana dengan cukup baik. Untuk tahun 2009, akhirnya program ini dapat dilaksanakan pada Kabupaten/ Kota di seluruh wilayah Provinsi Papua dan Papua Barat. Dan kabupaten Yahukimo di daerah pegunungan tengah Papua merupakan salah satunya yang melaksanakan program ini, meskipun rombongan TMC terkendala kondisi sosial masyarakat dan medan yang sulit.
Di kabupaten Yahukimo ini, Tim Mobile Clinic (TMC) berhasil melayani sebanyak 11 distrik diantaranya Distrik Anggruk, Tangma, Seradala, Langda, Silimo, Soba, Bomela, Nipsan Ninia, Kurima dan Dekai. Berikut data Koordinator Tim Mobile Clinic Kabupaten Yahukimo yang ditugaskan untuk memberikan pelayanan di distrik Anggruk antara lain, Dr. Rosalyn C. Jono (Koordinator Tim), Dewi Tampang (Gizi), Ester Kabak (Perawat), Yahya Kenangelem (Perawat), dan Martina Kabak (Bidan).
Dengan menggunakan pesawat carteran milik penerbangan Premi Air pada 29 Oktober 2009, rombongan TMC berangkat memberikan pelayanan kepada masyarakat di distrik Anggruk. Perjalanan dari Dekai, ibu kota kabupaten Yahukimo menuju Anggruk membutuhkan waktu kurang lebih 30 menit. Setibanya di lokasi, TMC langsung mengemas dan melakukan persiapan, berupa obat-obatan, bama (bahan makanan.red), dan berbagai perlengkapan lainnya untuk selanjutnya menuju tempat penginapan di Puskesmas Anggruk.
Kedatangan TMC mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat di distrik Anggruk. Antusiasme ini nampak, sejak pesawat menjelang mendarat, telah banyak masyarakat yang berada di lapangan terbang untuk menjemput kedatangan rombongan TMC.
Selanjutnya, dalam melaksanakan pelayanan di distrik Anggruk selama 15 hari, rombongan TMC melakukan pelayanan di lima kampung antara lain, Kampung Angguruk, Tulpa, Erika, Tohong, dan Ilintam. Pada pelayanan kali ini, TMC berhasil melayani masyarakat dengan jumlah pasien hingga sebanyak 800 orang. Selain memberikan pelayanan bagi masyarakat di distrik Angguruk, datang juga masyarakat dari distrik Heriapini yang merupakan distrik yang bersebelahan dengan distrik Anggruk.
Di lima kampung ini, TMC turut pula memberikan imunisasi kepada anak-anak sebanyak 46 anak. Berdasarkan pelayanan yang telah digelar, TMC menemukan 10 besar penyakit yang mendominasi di lima kampung ini antara lain, ISPA, Cacingan/disapsia, Scabies, Gastro Entritis, Myalgia, Artragia, OMK dan Malaria.

*) Nuraniku Untuk Perubahan dan Kebebasan Universal.

Kamis, 11 Maret 2010

YALIMEK KEHILANGAN SALAH SATU PUTRA TERBAIKNYA

Yalimek Kehilangan Amalek Keseit Siringon

Seluruh masyarakat yalimek pada hari ini merasa kehilangan salah seorang putra terbaik, yang adalah sosok handal, serba bisa, teladan dan berprestasi, Amalek Keseit Siringon, S,Th. Almarhum yang pernah bekerja di Kantor Urusan Agama (KUA) selama 5 tahun 8 Bulan pada periode 2002-2005, meninggal dunia saat diberangkatkan dari Sentani ke kampungnya di yalimek pada hari ini 11 Maret 2010, akibat kelumpuhan yang di deritanya selama 7 tahun. Salah satu intelektual muda yang dilahirkan di Sabelebi – yalimek- ini, memiliki pengalaman yang bervariasi di lingkungan Pemerintahan, maupun Gereja. Almarhum yang memiliki latar belakang pendidikan yang tidak jauh dari dunia yang digelutinya, mulai Sekolah Tinggi Teologia Tomohon, Manado pada 1998.
“Posisinya sebagai salah satu intelek muda dari yalimek menjadikan almarhum, sebagai salah satu putra yalimek yang paling vokal dalam menyuarakan/ menyampaikan aspirasi masyarakat yalimek di Anggruk,”.
Sesuai rencana almarhum akan akan di makamkan di kampung halamannya, di kampung Sabelebi (Mohimu) Anggruk yalimek pada hari yang sudah di tentukan.
Atas nama seluruh masyarakat, pemuda, pelajar dan Mahasiswa asal Yalimek – Anggruk – kami turut berduka cita yang sedalam- dalamnya atas meninggalnya salah seorang Revolusioner untuk orang yalimek ini.

"Selamat Jalan Putra Yalimek"


Template by : Yalimeck jamaica-rastuna.blogspot.com