Selamat Datang Di Komunitas Yalimeck Web BLOG

Minggu, 23 Mei 2010

O HOMEA WITUK

Foto-foto yang berikut merupakan langka-langka dari pembangunan homea, sebuah rumah adat Yali untuk keluarga. Jenis rumah lainnya merupakan rumah untuk laki-laki, atau yowa, lebih besar dari homea, dan rumah untuk upacara adat, atau ousayowa, yang sudah tidak ada di Holuwon. "Lama kehidupan" dari sebuah rumah sekitar dua tahun, sebelum tali ratannya mulai putus dan rumah mulai miring. Rumah tua akan runtuh kalau tidak dibongkar.

Untuk homea, pemiliknya harus mengumpulkan semua bahan pembangunan sendiri: setiap jenis kayunya dan talinya. Dia harus poton kayunya, yang akan dikeringkan, dan cabut kulit kayu. Hanya pada saat dia mulai meratakan tanah di lokasi rumah yang akan dibangun, semua teman-temannya dan keluarganya datang untuk bantu dia. Sebagian dari orang-orang itu pergi ke hutan untuk mencari daun pandan untuk menutup atap. Pembangunan berlangsung selama kurang lebih satu hari - dua hari.











Berikut ini adalah foto yang diambil dari atas udara (AMA).

















James S Yohame

YALIMEK, SUKU PEGUNUNGAN PAPUA

Pesawat terbang merupakan alat transportasi satu-satunya menuju Kosarek, salah satu desa di Kecamatan Anggruk, Kabupaten Jayawijaya, Papua. Dengan menggunakan pesawat jenis Cessna milik maskapai penerbangan MAF (Mission Aviation Fellowship) , perjalanan udara dari Wamena menuju Kosarek ditempuh dalam waktu 30 menit. Malalui kawasan pegunungan terjal di Kabupaten Jayawijaya.

Pewasat kecil berpernumpang empat orang ini terasa sekali guncangannya, apalagi ketika pesawat memasuki gumpalan awan tebal. Layaknya menggunakan angkutan umum di jalanan rusak. Badan diguncang-guncang kesana kemari. Isi perut rasanya ingin keluar.

Pesawat yang di piloti Barten, warga kebangsaan Belanda ini akhirnya mendarat di landasan yang terbuat dari tanah sepanjang 450 meter. Landasan tanah ini dibangun warga secara swadaya pada tahun 1974.

Kedatangan kami disambut ratusan warga Kosarek di ujung landasan. Kontak kami di Kosarek yaitu seorang mantri bernama Amos Wisabal. Dia membawa kami ke sebuah rumah kayu kosong, yang disediakan untuk kami menginap selama di Kosarek.

Mengatahui kedatangan kami, warga Kosarek mendatangi rumah dengan membawa berbagai bahan makanan seperti ubi kayu, sayuran dan ayam. Mereka menawarkan kepada kami untuk membeli bahan makanan yang mereka bawa. Berhubung langkanya bahan makanan di Kosarek, akhirnya kami membeli hampir semua bahan makanan yang mereka bawa. Kami menimbun bahan makanan untuk 7 hingga 10 hari. Kami sendiri sudah membawa bahan makanan dari Wamena seperti beras, telur, mie dan sebagainya.

Perjalanan ke Kosarek benar-benar kami persiapkan dengan matang, selain membawa sendiri bahan makanan, kami juga membawa generator. Karena di Kosarek sama sekali tidak ada listrik untuk penerangan dan segala keperluan berhubungan dengan alat kerja kami.

Di Kecamatan Anggrauk terdapat 32 desa, salah satu diantaranya yaitu desa Kosarek, yang memiliki 6 kampung. Kampung-kampung di desa Kosarek dikelilingi pegunungan Jenggu dan perbukitan Mei. Karena letaknya di kelilingi pegunungan dengan ketinggian sekitar 1500 meter dari permukaan laut, maka udara di desa ini sangat dingin.

Suku terbesar di Kosarek adalah Suku Yali Mek, dengan 8 suku kecil di dalamnya. Suku Yali Mek adalah suku yang tinggal di kawasan pegunungan. Selain di Kosarek, mereka juga tinggal di desa Benawa, Lipsa dan Nelapo. Suku-suku yang tinggal di pegunungan mempunyai cara hidup yang berbeda denga suku yang tinggal di lembah dan pantai. Demikian juga dengan bentuk honai. Honai-honai suku Yali Mek, baik perempuan maupun laki-laki lebih tinggi. Untuk pertama kalinya misionaris Jerman masuk ke Kosarek pada tahun 1972. Sehingga seluruh masyarakat Kosarek menganut agama kristen protestan.

Karena letaknya di pedalaman terpencil dengan kondisi geografis bergunung dan berbukit-bukit, pambangunan di Kosarek sangat tertinggal dari daerah lannya. Untuk membantu masyarakat dan membuka isolasi, maka pesawat milik MAF masuk Kosarek pada tahun 1974 hingga sekarang.

Pesawat MAF masuk Kosarek dua kali dalam sebulan, itupun tergantung permintaan masyarakat. Pesawat sebanarnya merupakan misi pelayanan bagi gereja, pendeta, mengangkut orang sakit namun juga menjadi andalan orang Kosarek untuk memenuhi segala kebutuhan mereka sehari-hari. Bila tidak ada uang untuk naik pesawat, maka orang Kosarek akan berjalan kaki ke Wamena yang ditempuh dalam waktu satu minggu lamanya.

Untuk menganal lebih jauh kehidupan Suku Yali Mek, maka saya menuju kampung Wasaltek yang terletak di atas lereng Gunung Wasaltek di ketinggian 1400 meter dari permukaan laut. Orang Yali Mek di kampung Wasaltek masih hidup dengan tradisi, adat istiadat dan budaya nenek moyang. Sebagian besar penduduknya masih memakai koteka bagi laki-laki dan sali bagi perempuan untuk menutupi kemaluan, tanpa penutup dada.

Kampung Wasaltek dihuni 496 jiwa yang tinggal dalam 78 honai. Honai perempuan dan laki-laki dibedakan. Honai perempuan lebih kecil ketimbang honai laki-laki yang lebih tinggi dan besar. Honai perempuan hanya diperuntukan bagi perempuan dan anak-anak. Di bagian dalam honai perempuan ada kandang babi yang dianggap sebagao binatang peliharaan yang berharga. Jadi babi harus tidur bareng manusia dalam rumah.

Bagian dalam honai hanya dialasi daun bandang, agar penghuni honai lebih nyaman ketika tidur dan aman dari berbagai gangguan serangga dan binatang kecil. Ditengah-tengah honai biasanya ada perapian untuk memberi kehangatan kepada seluruh penghuni honai.

Honai laki-laki letaknya di depan kampung, agar memudahkan bagi laki-laki yang ingin menginap di kampung tersebut. Pada masa lalu dimana masih sering perang antar suku, honai laki-laki yang terletak di depan kampung akan melindungi kaum perempuan dan anak-anak dari serangan musuh.

Karena honai laki-laki diperuntukan bagi siapapun laki-laki yang ingin tidur di honai, maka jangan heran bila dalam satu honai bisa dihuni puluhan orang. Mereka tidur berhimpitan dan saling tumpuk satu dengan yang lain agar memberi kehangatan. Ada satu adat Yali Mek, yaitu ketika anak laki-laki beranjak dewasa maka bagian hidung si anak akan di lobangi, ritual ini dinamakan iruai. Hidung yang telah dilobangi biasanya dipasangi hiasan taring babi. Si anak nantinya akan tinggal di honai laki-laki dan akan memperoleh pelajaran sebagaimana laki-laki dewasa. Seperti bagaimana menghormati wanita, cara berladang, berburu dan sebagainya. Ritual iruai ini kemudian dilanjutkan dengan beberapa upacara adat seperti memotong babi dan menari.

Pertama yang dilakukan orang Yali Mek adalah segen yaitu membuat api dengan menggosok rotan kebatang kayu kering yang dikelilingi rumput kering. Setelah keluar api kemudian diatasnya ditumpuk kayu-kayu kering disusul batu- batu. Bagi yang akan dibakar ditombak di bagian jantung hingga mati. Tubuhnya dipotong perbagian dan dipanggang diatas batu panas untuk merontokan bulu-bulu babi. Bahan makanan lainnya yang akan di masak seperti petatas atau ubi kayu, keladi atau talas dan sayuran daun pakis dibersihkan ibu-ibu Yali Mek.

Sementaa menunggu makanan masak, orang Yali Mek mempersiapkan tarian sepna. Para penari laki-laki memakai pakaian adat berupa polak yaitu hiasan rotan di bagian tbuh dan membawa panah dan busur. Koteka yang dipakai menari berbeda dengan yang dipakai sehari-hari. Koteka menari lebih panjang. Para penari juga memakai hiasan bulu ayam, burung nuri dan burung cendrawasih di kepala.

Sementara perempuan mengenakan sali atau penutup alat kelamin, kalung manik-manik di leher dan tas noken warna-warni di punggung. Para penari suku Yali Mek berlari-lari kecil membentuk lingkaran diiringi teriakan dan yel-yel dari para penari. Bagi suku Yali Mek, tarian sepna merupakan tarian sakral untuk memulai membangun honai dan proses kepindahan anak laki-laki dari honai perempuan ke honai laki-laki.

Di waktu senggang, bocak Yali Mek pergi ke rawa dan kebun untuk menari yai atau kodok. Kodok hasil tangkapan kemudian di bakar dan di santap ramai-ramai di dalam honai.





















Template by : Yalimeck jamaica-rastuna.blogspot.com