Selamat Datang Di Komunitas Yalimeck Web BLOG

Senin, 01 Maret 2010

PERJUANGAN SEORANG PERAWAT DI DAERAH YALIMEK

*) Oleh : James s Yohame

"Nahot tuo oba eneg yatuk eleg ai Malik tuo iba enaeg yatug eleg ai Nit nakni re ousama man wat tarusa o Nit nisinga re fareman wat tarusa o Iba eneg- oba eneg nintama re oba yatuk o I eneg-oba eneg nahumu re siag taruk o"

(Adikku jangan kau tangisi Anak jangan menangis Bapak dan mama sudah tiada karena bencana Jika terus ditangisi, hati ku sangat hancur Jika terus sesali perasaanku sangat terpukul)

Syair lagu ratapan dari suku Yali yang mendiami Lembah Yalimo, Kabupaten Yahukimo, Provinsi Papua. Sonata ratapan yang mengema ke seluruh Tanah Yalimo, saat tersiar kabar 55 orang meninggal karena kelaparan. Sementara 70.000 sampai 100.000 terancam kelaparan. Mereka terpencar di perbukitan, lembah dan lereng-lereng bukit terjal. Ketika lagu itu dinyanyikan banyak diantara mereka melumuri badan dengan tanah liat sebagai tanda berdukacita. Bahkan perempuan muda maupun ibu kandang yang meninggal dunia memotong salah satu jarinya sebagai tanda berdukacita dan cinta kasih.

Lagu berbahasa Yali asal Distrik Anggruk, Kabupaten Yahukimo, itu sampai sekarang terus dinyanyikan masyarakat yang dilanda kekurangan pangan bahkan hidup dalam kemiskinan yang sangat teramat.

Kesedihan terus berlangsung karena kekurangan pangan yang berawal bulan September hingga Desember 2005 dan sampai sekarang . Kelaparan itu melanda 17 distrik mengakibatkan sekitar 70.000 sampai 100.000 orang dari 250.0000 jiwa penduduk setempat kekurangan makan.

Kesedihan dan ratapan itu tidak hanya dirasakan masyarakat Yali tetapi termasuk Orpa Yohame, anggota Majelis Rakyat Papua (MRP). Ia terpilih sebagai anggota MRP dari Daerah Pemilihan (Dapil) Tujuh Kabupaten Yahukimo dan Pegunungan Bintang.

Orpa mengatakan dirinya sangat sedih mendengar kabar itu dari Tanah kelahirannya. Namun dia tahu kematian di sana bukan datang seketika, melainkan sudah berlangsung beberapa bulan. "Memang cuaca sering berubah antara musim panas dan curah hujan yang tinggi.

Pergantian cuaca itu menyebabkan terjadi gagal panen umbi-umbian. "Pemerintah harus mencarikan jalan bagaimana membantu masyarakat mengatasi masalah rawan pangan itu, "ujarnya.

Ibu Suster

Orpa sendiri tidak asing bagi suku Yali. Mereka biasa menyebutnya sebagai Ibu Suster. Panggilan suster sudah seperti nama marga. Orang kampung cukup memanggilnya Ibu Suster. Hal ini bukan tanpa alasan. Orpa Yohame merupakan suster (perawat) perempuan pertama asal Suku Yali tepatnya di Distrik Anggruk Kampung Erika, Tunn Allow.

Tak cuma namanya yang dikenal dengan oleh suku Yali di daerah pelayanan Gereja Kristen Injili (GKI) di Papua tapi seluruh pedalaman kabupaten Jayawijaya. Karena ia selalu melakukan pelayanan medis dari kampung ke kampung.

Sejak daerah Yali berinteraksi dengan dunia luar di era 1960-an yang dipelopori misionaris pertama Siegfried Zollner asal Jerman dengan mendirikan pos pekabaran injil di Angguruk belum ada perempuan Yali yang menjadi perawat. Saat itu hanya ada perawat-perawat asing, seperti dokter Frince asal Belanda yang bertugas di Rumah Sakit Efata, Angguruk.

Menyaksikan kehebatan perawat-perawat asal Belanda dan Jerman, niatnya menjadi perawat muncul ketika duduk di bangku sekolah dasar (SD) Yayasan Pendidikan Kristen (SD YPK) Angguruk pada 1974. Ia bergabung sebagai perawat honorer di Rumah Sakit Efata. Honornya ketika itu, hanya Rp 3.000 per bulan. Namun, ia sudah lega dengan kerja kemanusiaan yang ikut dirintisnya.

Saat itu kondisi kaumnya lebih buruk dari sekarang. Tingkat kematian ibu yang melahirkan dan bayi baru lahir sangat tinggi. Juga masih maraknya perempuan (ibu) Yali yang menyingkirkan atau mengasingkan salah satu satu bayi kembar. Karena mengakarnya mitos, bayi pertama dari anak kembar adalah anak setan.

Selama menjadi suster, ia selalu aktif di berbagai kegiatan gereja dan pemerintah. Ia berkesempatan mengikuti sejumlah kursus dan pelatihan. Misalnya, kursus kerajinan tangan dan pengasuh sekolah minggu di Pusat Pendidikan dan Pelatihan Wanita (P3W) Padangbulan, Jayapura pada tahun 1974.

Karena ketekunan dan kesungguhannya, Direktur Rumah Sakit Efata memperbolehkannya melanjutkan studi. Maka pada 1980 ia memasuki Sekolah Menengah Pertama (SMP) YPK Wamena. Orpa kemudian direkomendasikan pihak rumah sakit, untuk melanjutkan lagi pendidikannya ke Sekkolah Perawat Kesehatan (SPK) Wamena. Ia tamat tahun 1983, dan kembali mengabdi di daerahnya. Walau belum beranjak dari statusnya semula: tenaga honorer.

Keberuntungan akhirnya memihaknya. Pada 1984, ia diangkat sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di daerah asal. Namun, menjadi PNS bukan jaminan bergandanya penghasilan. Gaji Orpa memang dinaikkan, tapi masih belum memadai: Rp 12.000 per bulan.

Namun, ia merasa masih beruntung dibanding sekian perempuan sekampung halamannya. Dia mensyukuri pekerjaannya, yang banyak berkontribusi bagi kemanusiaan.
Bayi Kembar

Ia masih ingat betul sejumlah bayi yang ia selamatkan melalui nafas buatannya pada saat ibunya bersalin. "Anak-anak itu kini ada yang menjadi mahasiswa, bahkan sarjana,"ujarnya kepada Pembaruan di Jayapura belum lama ini.

Satu kasus yang sangat berkesan adalah upayanya menyelamatkan salah satu bayi kembar yang hampir dibuang ibunya ke sungai. Bayi putri itu bernama Eni Kenangalem. Kini Eni menjadi salah satu dokter perempuan asal suku Yali.

Enambelas tahun sudah Orpa mengabdikan diri di daerahnya. Bahkan selama enam tahun studi lanjut, ia masih terikat sebagai tenaga perawat di Rumah Sakit Efata.

Menolak ketika diusulkan untuk pindah ke daerah lain. Ia baru bersedia pindah tugas ke Apalapsili yang penduduknya masih bagian dari suku Yali. Ibu Suster ini bekerja di sana selama tiga tahun, sejak 1991.

Selanjutnya, dipindahkan ke Panggema yang juga masih wilayah suku Yali. Dua tahun di sini. Terakhir, istri Paulus Rupmabin ini ditugaskan ke Pilimo dan mengabdi selama tujuh bulan.

Kesulitan geografis, keterpencaran penduduk dan sangat rendahnya pengetahuan masyarakat akan pentingnya kesehatan merupakan problem terberat Orpa dan para kolega medis. "Tak ada kiat yang jitu ketika itu, selain kesabaran dan ketekunan menjalani tugas," ujarnya.

Ditambahkan sebagai petugas medis bersama teman-temannya harus bersusah payah mendatangi masyarakat (pasien) di kampung-kampung yang berjauhan. Perjalanan bisa memakan waktu tiga hingga empat hari. Inilah "sarapan" rutin Orpa dan para kolega, seperti Herce, Meri, Rika Wayoi dan Naomi. Mereka harus menghampiri pasien yang tak sanggup menjangkau pos pelayanan terpadu (posyandu).

Ada yang menjadi momok Orpa Yohame: Sungai Yahuli dan Som-som. Jika turun hujan, kedua sungai meluap dan deras. Kadang jembatan rotannya hanyut terseret arus air. Ia dan kolega susah menyeberang ke kampung yang dituju. Kalau pun sudah menyeberang tentu akan susah kembali. Akhirnya mengingap bersama masyarakat.

Anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) utusan perempuan ini memaparkan hingga tahun 2000, daerah Yali belum begitu memiliki pusat-pusat kesehatan, seperti rumah sakit dan puskesmas. Hanya ada satu rumah sakit di Angguruk.

Orpa sangat sedih, karena Rumah sakit Efata Angguruk yang sangat diandalkan orang Yali itu kini "tinggal nama." "Sekarang rumah sakit ini tidak terawat. Peralatan medis yang didatangkan dokter Frince dari Belanda kini rusak satu per satu. kurang ada perhatian dari pemerintah, " paparnya.

Karena kegigihan pengabdiannya, pada 1997 Partai Golkar merekrutnya sebagai anggota Dewan Perwakilan rakyat Daerah (DPRD) Jayawijaya. Harapannya, Orpa bisa mengupayakan perbaikan nasib orang Yali. Ia pun terpilih menjadi anggota DPRD pada Pemilu tahun 1997.

Sayang, seiring perubahan politik nasional pada 1998, anggota DPRD perempuan Yali pertama ini hanya bertengger dua tahun. Ia kembali ke basis sebagai perawat.

Sesuai tuntutan perkembangan era kini, pada 2003 ibu tiga anak ini berketetapan melanjutkan studi di Politeknik Kesehatan Jayapura. Ia mengambil Diploma Tiga Jurusan Keperawatan. Kini, ia melanjutkan studi ke Srata Satu Ilmu Kesehatan Masyarakat di Universitas Cenderawasih Jayapura.

Setelah resmi menjadi anggota MRP dari unsur perempuan. Ia dan para kolega di lembaga rakyat asli Papua ini bertekad keras memulihkan hak-hak kaumnya yang selama ini terbawahkan oleh sistem dan aturan yang menindas.

Untuk perempuan Yali, ia berharap pemerintah pusat dan daerah menaruh perhatian khusus dalam bidang pendidikan, kesehatan dan lapangan pekerjaan bagi kaum wanita Yali.

Ia minta pemerintah menyiapkan biaya studi dan asrama putri bagi mereka. Dengan demikian banyak wanita Yali atau pedalaman yang maju dan kembali membangun Tanah Papua secara menyeluruh. Ia menilai banyaknya kegagalan studi kaumnya dikarenakan minimnya dukungan biaya studi. "Kadang faktor ekonomi memaksa mereka jatuh ketangan lelaki yang tak bertanggungjawab; banyak anak perempuan Yali pulang karena 'kecelakaan', " ujar dengan nada pilu.

Mama pengabdianmu tidak dapat dibalas dengan apapun.Semoga dalam setiap langkahmu Tuhan selalu bersamamu.

Tapi suatu saat, wanita-wanita Yali akan memimpin dan membangun Lembah Yalimo menjadi sejahtera. Sebuah negeri yang manusianya dijuluki "Penguasa-Penguasa Bumi" oleh Don Richarson.

*) Seorang Pengembara Dari Yalimek Yang Terdampar Di Pulau Jawa

0 komentar:

Posting Komentar

Yalimek

Template by : Yalimeck jamaica-rastuna.blogspot.com